Ada
beberapa istilah yang sering muncul ketika menjelang bulan Ramadhan,
Syawal dan Dzulhijjah, yaitu ru-yah dan hisab. Banyak media yang
memberitakan ru-yah dan hisab pada bulan-bulan tersebut, tetapi tidak
banyak media yang menjelaskan banyak hal tentang ru-yah dan hisab,
padahal masih banyak umat Islam yang belum mengetahui seluk beluk ru-yah
dan hisab.
Tulisan ini membahas beberapa hal yang berkaitan dengan ru-yah dan
hisab. Dengan dibuatnya tulisan ini diharapkan semakin banyak umat Islam
yang lebih memahami tentang ru-yah dan hisab. Amiin. Tulisan ini masih
jauh dari sempurna, karena itu kritik, komentar, dan saran sangat
penulis harapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua.
K. Pengertian
Hilal (هلال) = Awal Bulan.
Bulan yang mengitari Bumi memiliki fase tersendiri dalam setiap
putarannya selama 29-30 hari/bulan. Setiap fase memiliki tanda/bentuk
tersendiri, seperti bulan sabit, setengah purnama, purnama, bulan mati,
dan sebagainya. Hilal termasuk suatu fase awal bulan yang dapat dilihat
oleh seseorang, secara singkatnya hilal adalah bulan sabit.
Hilal ini ada pada setiap bulan, jadi istilah hilal tidak hanya
dipakai ketika bulan Ramadhan, Syawal, Dzulhijjah saja (bulan tersebut
merupakan bulan-bulan hijriyah ketika istilah hilal menjadi sangat
terkenal), tetapi untuk semua bulan hijriyah.
Ru-yah (رؤْية) = Penglihatan.
Dalam konteks bulan hijriyah yang dimaksud dengan ru-yah adalah
ru’yah hilal yaitu melihat hilal dengan cara melihatnya dengan mata
langsung atau melalui alat bantu (teropong dan alat astronomi lainnya).
(Catatan : Harap bedakan antara ru-yah (رؤْية) dengan Ruqyah (رقيه)
dan ru-ya (رؤْيا) . Ruqyah secara bahasa adalah
jampi-jampi/ucapan/mantra. Ruqyah terbagi menjadi dua, Ruqyah Syar’iyah
(Ruqyah yang sesuai syari’at Islam) dan Ruqyah yang bukan Syar’i (Ruqyah
yang tidak sesuai dengan syari’at Islam). Sedangkan ru-ya adalah mimpi
(lebih khusus mimpi yang baik). Masalah Ruqyah dan ru-ya lebih lanjut
perlu dijelaskan secara terpisah.
Hisab (حساب) = Perhitungan.
Dalam konteks bulan hijriyah yang dimaksud dengan hisab adalah suatu
metode perhitungan untuk menentukan tanggalan (termasuk awal dan akhir
bulan) hijriyah.
L. Cara Menentukan Hilal
Cara menentukan Hilal :
Ru-yah
Ru-yah biasa dilakukan pada hari ke 29 (yaitu pada sore harinya menjelang/setelah maghrib) suatu bulan Hijriyah.
Ikmal (إكمال = penyempurnaan)
Jika Hilal tidak terlihat pada proses ru-yah, maka bulan hijriyah tersebut disempurnakan/digenapkan menjadi 30 hari.
Hisab
Ahli hisab membuat suatu metode perhitungan sehingga terbuatlah suatu jadwal/kalender Hijriyah dalam setiap bulan/tahunnya.
Ru-yah dan Ikmal merupakan istilah yang berhubungan, karena jika
ru-yah tidak dapat dilakukan maka ikmal 30 hari akan dilakukan. Dengan
alasan itu maka wajar saja jika seolah-olah hanya ada dua cara
menentukan Hilal, yaitu ru-yah dan hisab.
Mayoritas umat Islam di dunia menggunakan cara ru-yah untuk
menentukan Hilal Ramadhan&Syawal, termasuk pemerintah Indonesia.
Walau begitu tetap ada sebagian Muslim yang memilih menggunakan cara
hisab (baik hisab murni maupun tidak), di Indonesia Muhammadiyah
merupakan salah satu contoh yang paling vokal.
L.1. Ru-yah
Penentuan Hilal melalui ru-yah juga memiliki beberapa perbedaan pendapat :
Satu ru-yah untuk semua negeri.
Maksudnya : Jika suatu negeri telah menyatakan telah melihat Hilal
melalui ru-yah dengan terpercaya dan terbukti, maka negeri lain wajib
mengikutinya walaupun negeri tersebut tidak melihat Hilal di negerinya
sendiri.
Contoh : Jika Arab Saudi telah menyatakan telah melihat hilal,
negara-negara lain di seluruh dunia yang belum melihat hilal harus
mengikuti hasil ru-yah Arab Saudi.
Pendapat satu ru-yah untuk semua negeri ini adalah pendapat jumhur
(mayoritas) ulama, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Sayyid Sabiq
rahimahullah dalam Fiqhu as-Sunnah (Juz 1) :
ذهب الجمهور: إلى أنه لا عبرة باختلاف المطالع.
فمتى رأى الهلال أهل بلد، وجب الصوم على جميع البلاد لقول الرسول صلى الله عليه وسلم ” صوموا لرؤيته، وافطروا لرؤيته “.
وهو خطاب عام لجميع الامة فمن رآه منهم في أي مكان كان ذلك رؤية لهم جميعا.
Pendapat Jumhur : Tidak ada perbedaan mathla (tempat muncul hilal),
maka penduduk negeri apa saja yang telah melihat hilal, maka seluruh
negeri wajib shaum sebagaimana hadits Rasulullah, “Shaumlah kalian
karena melihat hilal (awal Ramadhan), dan berbukalah kalian karena
melihat hilal (awal Syawwal)”. Ucapan tersebut adalah umum untuk semua
umat, maka barangsiapa di antara mereka yang telah melihat hilal di
tempat mana saja, maka itu adalah ru-yah bagi mereka semua (Fiqhu
as-Sunnah Juz 1).
Satu ru-yah untuk satu negeri dan negeri yang berdekatan.
Maksudnya : Jika suatu negeri telah menyatakan telah melihat Hilal
melalui ru-yah dengan terpercaya dan terbukti, maka negeri yang
berdekatan wajib mengikutinya walaupun negeri tersebut tidak melihat
Hilal di negerinya sendiri.
Contoh : Jika Indonesia telah menyatakan telah melihat hilal,
negara-negara tetangga Indonesia (Malaysia, Brunei, Filipina, Thailand,
dsj) yang belum melihat hilal harus mengikuti hasil ru-yah Indonesia.
Ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah.
Setiap negeri memiliki ru-yah masing-masing.
Maksudnya : Jika suatu negeri telah menyatakan telah melihat Hilal
melalui ru-yah dengan terpercaya dan terbukti, maka negeri lain tidak
wajib mengikutinya jika mereka tidak melihat Hilal di negerinya sendiri.
Contoh : Jika Arab Saudi telah menyatakan telah melihat hilal,
negara-negara lain di seluruh dunia yang belum melihat hilal tidak harus
mengikuti hasil ru-yah Arab Saudi, melainkan mengandalkan hasil ru-yah
di negerinya sendiri.
Ini adalah pendapat Ikrimah, Qasim bin Muhammad, Salim, Ishaq
rahimahumullah, dan pendapat yang dipilih oleh sebagian ulama
Syafi’iyyah.
Ketiga pendapat dalam masalah ru-yah Hilal tersebut memiliki
dalil/argumen yang sama (dengan pemahaman yang berbeda), yaitu suatu
hadits riwayat Bukhari dan Muslim :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Rasulullah bersabda, “Shaumlah kalian karena melihat hilal (awal
Ramadhan), dan berbukalah kalian karena melihat hilal (awal Syawwal).
Jika (hilal) tertutup atas kalian, maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban 30
hari.”
Sedangkan pendapat setiap negeri memiliki ru-yah masing-masing memiliki tambahan dalil dari hadits Kuraib / Ibnu Abbas :
: قدمت الشام، واستهل علي هلال رمضان وأنا بالشام، فرأيت الهلال ليلة الجمعة.
ثم قدمت المدينة في آخر الشهر، فسألني
ابن عباس - ثم ذكر الهلال - فقال: متى رأيتهم الهلال؟ فقلت: رأيناه
ليلة الجمعة فقال: أنت رأيته؟ فقلت: نعم، ورآه الناس، وصاموا، وصام معاوية،
فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين، أو نراه،
فقلت: ألا تكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال: لا…هكذا أمر رسول الله صلى
الله عليه وسلم.
Kuraib berkata : Aku tiba di Syam, lalu diumumkan tentang hilal
Ramadhan ketika aku masih di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at.
Lalu aku tiba di Madinah pada akhir bulan (Ramadhan), lalu Ibnu Abbas
menanyakanku –lalu ia menyebut hilal–. Ibnu Abbas bertanya, “Kapan
mereka melihat hilal?” Aku menjawab, “Kami melihat hilal pada malam
Jum’at.” Ibnu Abbas bertanya, “Kamu melihat hilal?” Aku menjawab, “Ya,
dan orang-orang melihat hilal, lalu mereka shaum, dan Mu’awiyah juga
shaum.” Ibnu Abbas berkata, “Tapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka
kami tidak berhenti shaum hingga kami menyempurnakan 30 hari atau kami
melihat hilal.” Aku bertanya, “Apakah tidak cukup bagimu ru-yah
Mu’awiyah dan shaumnya?” Ibnu Abbas menjawab, “Tidak, begitulah
Rasulullah telah memerintahkan (kami).” << Ahmad, Muslim, dan
Tirmidzi. Tirmidizi berkata : Hasan, Shahih, Gharib >>
L.2. Hisab
Walaupun ru-yah merupakan cara yang paling banyak dipakai dalam
menentukan awal/akhir bulan Hijriyah, sebagian Muslim memakai ilmu hisab
dengan memperhitungkan gerak Bulan mengitari Bumi, bahkan ilmu hisab
saat ini sudah didukung dengan alat-alat astronomi dengan teknologi yang
canggih.
Dalil diperbolehkannya hisab dipakai dalam menentukan awal/akhir bulan adalah :
Menentukan awal bulan Hijiriyah (secara umum : semua bulan hijiryah) pada dasarnya termasuk dalam permasalahan dunia.
Kaidah dalam permasalahan dunia adalah segala sesuatu adalah boleh
kecuali jika ada dalil yang melarangnya. Apalagi dengan ilmu hisab ini
dapat membantu umat Muslim di seluruh dunia, baik dalam permasalahan
dunia bahkan juga dalam beberapa permasalahan agama (seperti waktu
shalat dan hisab awal ramadhan/syawal/dzulhijjah).
Terdapat perintah dalam Al-Qur’an yang menyuruh umat Muslim mempelajari ilmu hisab, antara lain adalah :
(((يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ )))
((( Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah itu adalah
waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji [Al-Baqarah (2): 189]
)))
((( Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya
dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan
bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
(waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak.
[Yunus (10) : 5] )))
((( Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami
hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu
mencari karunia dari Tuhanmu dan supaya kamu mengetahui bilangan
tahun-tahun dan perhitungan. [ Al-Israa' (17) :12] )))
((( Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat,
dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan
Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. [Al-An'am (6) : 96] )))
Beberapa ulama yang menyatakan bolehnya memakai hisab antara lain :
Abul Abbas Ahmad bin Amr bin Suraij asy-Syafi’i, Ibnu Hazm, Ibnu Daqiq
al-’Iid, dan Muhammad Rasyid Ridha Rahimahumullah (lihat majmu’ah
ar-rasaail ats-tsalasah). Ulama-ulama Indonesia juga cukup banyak yang
menyatakan bolehnya menggunakan hisab, satu dari mereka adalah A. Hassan
rahimahullah (lihat terjemahan dan keterangan A. Hassan dalam Kitab
Bulughul Maram).
M. Pendapat yang Ideal Tentang Ru-yah
Dalam masalah ru-yah, kaum Muslimin saling berbeda pendapat tentang
pendapat manakah yang paling kuat dalam penentuan ru-yah, apakah
pendapat pertama (satu ru-yah untuk semua negeri), pendapat kedua (satu
ru-yah untuk satu negeri dan negeri yang berdekatan), atau pendapat
ketiga (setiap negeri memiliki ru-yah masing-masing)? Menurut penulis,
pendapat yang paling kuat / mendekati kebenaran adalah pendapat yang
pertama, Insya Allah, pendapat yang paling ideal, dan juga merupakan
pendapat mayoritas ulama. Hal ini memiliki beberapa alasan antara lain :
Kata “kalian” pada hadits ru-yah berlaku umum untuk semua orang
Islam. Jika ada yang melihat Hilal, jujur, terpercaya dan terbukti tanpa
memandang perbedaan mathla (tempat munculnya hilal), maka persaksian
itu harus diterima.
Umat Islam itu satu, karena itu perlu penyeragaman dalam penentuan Hilal.
Sebagian kalangan meyakini bahwa pendapat ketiga (setiap negeri
memiliki ru-yah masing-masing) adalah pendapat yang lebih kuat dengan
dalil hadits Kuraib yang sudah disebut sebelumnya dan menyatakan bahwa
jika pendapat pertama (satu ru-yah untuk semua negeri) lebih kuat, maka
hadits umum tentang ru-yah itu bertentangan/bentrok dengan hadits
Kuraib.
Jika direnungkan lagi, sebenarnya hadits Kuraib tidak bertentangan
dengan hadits umum tentang ru-yah. Beberapa alasannya adalah :
Pada saat itu negeri-negeri berjauhan dan belum memiliki suatu sistem komunikasi yang canggih dan cepat.
[Ibnu Abbas bertanya, “Kapan mereka melihat hilal?”] Hal ini
menandakan bahwa Ibnu Abbas tidak tahu kapan Mu’awiyah yang merupakan
seorang khalifah memulai shaum Ramadhan di Syam, dan Ibnu Abbas baru
mengetahui hal itu saat Kuraib mengabarinya. Dengan alasan ini pula
menandakan bahwa sekalipun Mu’awiyah mengumumkan berita ru-yah di
negerinya, tetapi ia tidak menyebarkannya ke negeri yang lain karena
pada saat itu belum adanya suatu sistem komunikasi yang cepat (pada saat
itu informasi disampaikan melalui utusan yang waktu tempuhnya dapat
berhari-hari sehingga tidak efektif untuk urusan seperti hilal ini).
[ Aku tiba di Syam, lalu diumumkan tentang hilal Ramadhan ketika aku
masih di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum'at. Lalu aku tiba di
Madinah pada akhir bulan (Ramadhan)] Kuraib menyampaikan berita hilal
Ramadhan di Syam pada Ibnu Abbas di Madinah pada akhir bulan Ramadhan.
Kesimpulannya berita hilal itu sangat telat datang (tapi masih dapat
dimaklumi jika melihat kondisi pada saat itu) pada saat shaum sudah
berjalan beberapa pekan (hampir sebulan), oleh karena itu Ibnu Abbas
menyatakan bahwa mereka (penduduk Madinah) akan meneruskan shaum mereka
hingga mereka melihat hilal Syawal atau ikmal. Seandainya berita hilal
Ramadhan di Syam bisa tiba tepat waktu di Madinah (dan kondisi seperti
ini pada saat itu sangat sulit tercapai), maka belum tentu Ibnu Abbas
akan berkata seperti itu.
[Tidak, begitulah Rasulullah telah memerintahkan (kami)] Perkataan
Ibnu Abbas ini bisa ditafsirkan dalam beberapa penafsiran, apakah
maksudnya adalah (a) Rasulullah memerintahkan ru’yah hilal Ramadhan
berlaku di masing-masing negeri atau (b) Rasulullah memerintahkan jika
berita hilal Ramadhan dari negeri lain sampai dengan telat pada saat
negeri itu sedang shaum beberapa pekan, maka penduduk negeri itu
sebaiknya melanjutkan shaum mereka.
Pendapat 4b lebih baik, Insya Allah, daripada 4a sehingga hadits
Kuraib ini tidak bentrok dengan hadits hilal secara umum. Seandainya
berita hilal Ramadhan di Syam bisa tiba tepat waktu di Madinah (dan
kondisi seperti ini pada saat itu sangat sulit tercapai), maka belum
tentu Ibnu Abbas akan berkata seperti itu dan Ibnu Abbas sangat mungkin
akan mengikuti kesaksian orang-orang yang telah menyatakan melihat hilal
Ramadhan di negeri lain.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saja menerima persaksian
orang-orang yang melihat hilal tanpa menanyakan di mana mereka melihat
hilal :
راءى الناس الهلال، فأخبرت رسول الله صلى الله عليه وسلم أني رأيته، فصام، وأمر الناس بصيامه.
Dari Ibnu Umar Radiyallaahu Anhu : Orang-orang melihat hilal
(Ramadhan), lalu berita ru’yah itu disampaikan kepada Rasulullah, maka
beliau shaum dan memerintahkan orang-orang untuk shaum. << Abu
Dawud, Hakim, dan Ibnu Hibban, ia menshahihkannya >>
N. Dilema ru-yah dan hisab
Faktanya, pada saat ini kebanyakan negeri memilih pendapat ke-3
(sebagian ada yang memilih pendapat ke-2) dalam masalah ru-yah, sehingga
masih cukup sering terjadi perbedaan dalam penentuan Hilal. Ego
masing-masing negara masih terlihat, padahal seharusnya yang terlihat
hanyalah rasa persaudaraan sesama Muslim dan melepas perbedaan negara.
Cukup sering terjadi perbedaan awal bulan Ramadhan dan Syawal di
beberapa negeri Muslim di dunia, hal ini disebabkan kebanyakan negeri
memilih pendapat ke-3 dalam ru-yah. Anehnya, ketika penentuan awal bulan
Dzulhijjah, banyak negara-negara yang mengikuti hasil ru-yah Arab
Saudi. Ketika penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal, masing-masing
negara kukuh berpendapat dengan hasil ru-yah di negerinya masing-masing,
tetapi ketika penentuan awal bulan Dzulhijjah banyak negeri Muslim yang
mengikuti hasil ru-yah Arab Saudi. Aneh, kan?
Disinilah cara hisab sebenarnya bisa berperan dengan baik dalam
penentuan Hilal. Dengan ilmu hisab yang semakin baik yang dikuasai oleh
ahli hisab Muslim, ditambah dengan bantuan alat astromoni dan astronom
Muslim, mereka memakai hisab untuk keperluan umat Muslim di seluruh
dunia.
Contoh terbaik adalah jadwal shalat 5 waktu untuk seluruh dunia,
jadwal tersebut dibuat dengan hisab dan dipakai oleh mayoritas Muslim di
dunia, termasuk di Indonesia. Jadwal shalat pada awalnya diketahui
dengan cara melihat perubahan posisi matahari (dengan kata lain ru-yah
Syamsu/Melihat matahari), tetapi dengan adanya ilmu hisab, jadwal shalat
bisa dibuat untuk seluruh tempat di dunia. Kenapa hisab jadwal shalat
bisa digunakan di seluruh dunia? Karena perhitungannya hasil hisab
–Insya Allah– sama (atau setidaknya hanya selisih sedikit saja beberapa
menit) dengan hasil melihat langsung posisi matahari untuk menentukan
waktu shalat.
Jadwal shalat 5 waktu yang diterima di seluruh dunia itu dibuat
dengan hisab, anehnya ketika ahli hisab (dan astronom Muslim) membuat
hisab untuk kalender hijriyah, termasuk penentuan Hilal Ramadan, Syawal
dan Dzulhijjah, banyak negeri Muslim yang menolaknya, tetapi mereka
memakai hisab (menggunakan kalender Hijriyah) untuk bulan-bulan Hijriyah
selain Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Anehnya lagi mereka memakai
hisab untuk shalat dalam keseharian hidup mereka, tetapi ketika
mementukan Hilal mereka menolaknya.
Contoh lainnya dengan adanya hisab, bisa diketahui dengan jelas
kapan waktu gerhana bulan atau gerhana matahari, di tempat mana
terjadinya, kapan waktunya, dan sebagainya. Dengan adanya informasi
seperti itu, kaum Muslimin jadi mengetahui tentang kapan waktu gerhana,
dan juga bisa bersiap-siap untuk melakukan salah satu sunnah Rasulullah
yaitu shalat gerhana.
Sebenarnya hisab dan ru-yah tidak bertentangan, malah sebaliknya
hisab bisa menjadi pendukung ru-yah. Dengan hisab, bisa ditentukan
apakah Hilal kemungkinan besar akan terlihat atau tidak. Jika ahli hisab
mengatakan ru-yah dapat terlihat di suatu tempat, maka hanya perlu
pembuktian dengan ru-yah, dan biasanya –Insya Allah– memang benar
(karena perhitungan hisabnya sudah bagus dan semakin baik). Jika ahli
hisab dan astronom Muslim mengatakan dengan ilmu hisab dan astronominya
bahwa Hilal kemungkinan tidak akan terlihat, maka tinggal buktikan saja
dengan ru-yah, simpel kan?
Dengan ilmu hisab dalam penentuan jadwal kalender Hijriyah, termasuk
penentuan Hilal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, maka Insya Allah
persatuan umat Islam di dunia dalam masalah tanggalan / kalender tahun
hijriyah dapat tercapai lagi. Tidak akan ada lagi perbedaan waktu shaum,
Idul Fitri dan Idul Adha di seluruh dunia. Alangkah indahnya jika hal
tersebut bisa terwujudnya. Jika orang nashrani bisa bersatu merayakan
natal setiap tanggal 25 Desember, kita sebagai Muslim lebih berhak untuk
bisa bersatu dalam shaum (Ramadhan), Idul Fitri (Syawal), dan Idul Adha
(Dzulhijjah).
O. Opini Penulis tentang Penentuan Hilal di Indonesia
Beberapa hal yang biasa dilakukan depag/pemerintah dalam penentuan Hilal.
Cara yang dipakai oleh pemerintah/Depag RI adalah ru-yah, tetapi menurut penulis mereka belum optimal dalam menerapkannya.
Biasanya menugaskan beberapa orang Depag untuk melakukan ru-yah
hilal di beberapa tempat di wilayah Indonesia. (Apakah semua tempat di
Indonesia akan terjangkau oleh orang Depag, lebih banyak mana antara
orang Depag yang diperintahkan melihat Hilal dengan Muslim Indonesia
yang juga berpotensi untuk dapat melihat Hilal?)
Jika mayoritas orang Depag menyatakan tidak melihat hilal pada sidang itsbat, maka pendapat itu yang biasanya dipakai.
Biasanya akan melakukan rapat dengan ormas Islam sebelum penentuan
awal bulan Ramadhan/Syawal (sidang itsbat), tetapi pendapat yang dipilih
biasanya pendapat yang sudah dipilih oleh pemerintah/depag sebelumnya.
Sekalipun banyak Muslim non-Depag atau ormas yang melihat ru-yah dan
sudah melaporkannya kepada pemerintah, jika pemerintah/Depag RI sudah
memutuskan untuk ikmal maka pasti akan digenapkan (tidak memakai hasil
ru-yah orang/pihak lain).
Diberitakan bahwa Depag sudah membeli suatu alat astronomi yang
canggih, tetapi penggunaannya secara optimal untuk ru-yah belum
diketahui. Apakah benar-benar dipakai atau hanya sekedar pajangan saja.
Biasanya waktu awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah di Indonesia
adalah waktu yang telah ditetapkan sesuai dengan kalender yang telah
dibuat oleh pemerintah Indonesia. Dan biasanya pula, lama bulan Ramadhan
adalah 30 hari.
Cukup sering hasil penentuan Hilal (terutama Ramadhan, Syawal, dan
Dzulhijjah) pemerintah/Depag RI berbeda dengan kebanyakan hasil
penentuan negeri Muslim lainnya di dunia. Tahun 1427 H dan 1428 H adalah
salah satu contohnya (awal Syawal dan Dzulhijjah yang dipakai
pemerintah RI berbeda dengan yang dipakai mayoritas negeri Muslim).
Tahun ini (1428 H) Depag sudah memanggil ahli ru-yah dan ahli hisab
untuk saling berdiskusi. Semoga mereka dapat berdiskusi dengan baik,
saling menerima kebenaran, mau mengakui kekeliruan jika memang terjadi
kekeliruan, dan bertujuan untuk mendapat hasil yang terbaik untuk umat
Muslim ini (update : ternyata harapan tersebut tidak dapat terwujud pada
tahun 1428 H, semoga saja harapan ini dapat terwujud pada tahun-tahun
yang akan datang, Amiin).
Beberapa hal yang dilakukan oleh masyarakat/ORMAS Muslim di Indonesia (non depag/pemerintah) dalam penentuan Hilal :
ORMAS paling vokal dalam menerapkan hisab untuk penentuan Hilal
adalah Muhammadiyah. Biasanya mereka percaya diri untuk mengumumkan
hasil hisabnya jauh hari sebelum hari H.
Ada beberapa ORMAS yang mengikuti rapat Depag tentang penentuan awal
bulan yang pada rapat tersebut mereka mengikuti pendapat
pemerintah/Depag, tetapi pada kenyataannya (entah secara organisasi
maupun personal) mereka menerapkan pendapat yang berbeda dengan apa yang
sudah diputuskan tersebut.
Ada beberapa ORMAS pusat yang mengikuti pendapat pemerintah RI,
tetapi ORMAS cabangnya tidak mau sependapat dengan ORMAS pusat
disebabkan mereka sudah melihat Hilal atau negeri lain ada yang sudah
melihat Hilal. Ini pernah terjadi pada sebagian cabang Nahdhatul Ulama.
Ada beberapa orang/ORMAS di Indonesia yang berpegang pada pendapat
satu ru-yah untuk semua negeri dan mereka mengambil patokan Arab Saudi.
Salah satu contohnya adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (walaupun
mereka tidak terlalu vokal dalam menyuarakannya).
Ada beberapa orang/ORMAS di Indonesia yang serius dalam melihat
ru-yah dan maksimal untuk dapat menemukannya. Jika mereka melihat
ru-yah, mereka akan berpegang pada pendapat tersebut walaupun berbeda
dengan keputusan pemerintah RI. Contoh ORMAS ini cukup banyak, salah
satunya adalah Front Pembela Islam (FPI).
Ada beberapa orang/ORMAS di Indonesia yang berpegang pada pendapat
masing-masing negara memiliki ru-yah masing-masing, mereka mengikuti
penentuan Hilal pemerintah RI untuk bulan Ramadhan dan Syawal, tetapi
untuk masalah Dzulhijjah mereka mengikuti penentuan Hilal di Arab Saudi.
Contohnya adalah sebagian kelompok Salafiyun.
Alhamdulillah, Ramadhan tahun ini (1428 H) hampir semua Muslim di
dunia ini memulai shaum pada hari yang sama (13 september 2007). Tapi
sepertinya Idul Fitri tahun 1428 ini di Indonesia akan terjadi perbedaan
lagi seperti tahun lalu (update : memang telah terjadi perbedaan lagi).
Muhammadiyah sudah menentukan (dengan hisab) bahwa Idul Fitri tahun ini
kemungkinan akan jatuh pada tanggal 12 Oktober 2007, hal ini berbeda
dengan kalender resmi pemerintah Indonesia dan beberapa organisasi
Muslim lainnya yang sependapat dengan pemerintah.
Biasanya penulis sependapat dengan Muhammadiyah, karena [biasanya]
hisab Muhammadiyah akan sama hasilnya dengan penentuan Hilal di
mayoritas negara Muslim lainnya di dunia (contohnya seperti penentuan
awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah pada tahun 1427 H, hasil hisab
mereka sama dengan hasil penentuan Hilal di kebanyakan negeri Muslim
lainnya pada tahun tersebut) . Penulis hanya perlu mencari informasi
pada malam Idul Fitri (tahun ini pada malam 12 Oktober 2007) tentang
penentuan Idul Fitri di beberapa negeri Muslim lainnya (terutama Timur
Tengah) untuk pembuktian.
Penulis juga sependapat dengan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
(satu ru-yah untuk semua negeri), oleh karena itu wajar jika Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia dijadikan salah satu sumber penulis untuk
mendapat informasi awal bulan Hijriyah (tapi saat ini informasi dapat
lebih mudah didapat melalui internet ^^, jadi penulis tidak bergantung
untuk mendapat informasi hilal dari beberapa ORMAS di negeri ini).
P. Penutup
Dalam bagian akhir dari tulisan ini, penulis akan memberikan suatu kesimpulan dari apa yang sudah dibahas pada tulisan ini :
Terdapat tiga cara dalam penentuan Hilal bulan Hijriyah, yaitu ru-yah, Ikmal dan hisab.
Terdapat perbedaan pendapat dalam penentuan ru-yah Hilal, yaitu (1)
satu ru-yah untuk semua negeri, (2) Satu ru-yah untuk satu negeri dan
negeri yang berdekatan dan (3)Masing-masing negeri memiliki ru-yah
masing-masing.
Ilmu hisab ialah cara yang boleh dan baik dipakai untuk penentuan
Hilal, dan hal ini sebenarnya tidak bertentangan dengan ru-yah.
Jika setiap pemimpin negeri Muslim berkumpul untuk membicarakan
masalah ini, lalu memilih pendapat satu ru-yah untuk semua negeri dengan
pertimbangan kesatuan umat Islam di seluruh dunia, lalu ditambah dengan
dipakainya ilmu hisab yang dibantu dengan teknologi dan alat astronomi
yang canggih pada zaman ini, Insya Allah, tidak akan ada istilah lagi
umat Islam merayakan hari raya yang sama (Idul Fitri dan Idul Adha)
dengan hari/tanggal yang berbeda.
Perbedaan pendapat (dalam hal yang diperbolehkan, bukan menyangkut
masalah yang paling penting dari yang paling penting seperti aqidah,
iman, dan sebagainya) memang akan sering terjadi, tetapi jika tidak ada
satu upaya untuk menyatukannya maka perbedaan tersebut akan terus
menjadi perbedaan yang jika tidak disikapi dengan baik maka bisa menjadi
sebuah perpecahan.
>>>>>>>>>>>>
Banyak selisih pendapat dalam penentuan awal Ramadhan. Ada yang memakai hisab, ada yang berpedoman rukyat. Bagaimanakah sikap kita seharusnya?
Jawaban :
Para ulama berselisih pendapat di dalam menentukan awal bulan Ramadhan apakah dengan cara melihat bulan langsung (rukyat) atau dengan cara hisab.
Pendapat Pertama mengatakan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan cara melihat bulan secara langsung (rukyat) dan tidak boleh menggunakan hisab. Ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf, termasuk di dalamnya Imam Madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’I, dan Ahmad).
Dalil mereka adalah sebagai berikut:
1. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
«لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ» و في رواية: فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ»
“Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan jangan berbuka sampai melihatnya lagi, jika bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakan bulan tersebut sampai tiga-puluh.” (HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080)
2. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
«صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ»
“Berpuasalah karena kalian melihat bulan, dan berbukalah ketika kalian melihat bulan. Jika bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga-puluh hari.” (HR. Bukhari no. 1909 dan Muslim no. 1081)
3. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
«إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا»
“Jika kalian melihat hilal (Ramadhan), maka berpuasalah, dan jika kalian melihat hilal ( Syawal), maka berbukalah.” (HR Muslim no. 1081)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan melihat bulan secara langsung. Jika bulan tersebut terhalang oleh awan, hendaknya disempurnakan bilangan bulan hingga tiga puluh hari. Inilah maksud lafadh “faqduru lahu” dalam hadits di atas setelah menjama’ beberapa riwayat yang ada.
Pendapat kedua mengatakan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan dengan menggunakan hisab. Ini adalah pendapat Mutharrif bin Abdullah, Ibnu Suraij, dan Ibnu Qutaibah. Mereka berdalil dengan hadits riwayat muslim di atas ( lihat hadits no 1), hanya saja kelompok ini menafsirkan lafadh “faqduru lahu” dengan ilmu hisab. Yaitu jika bulan tersebut tertutup dengan mendung, maka pergunakanlah ilmu hisab.
Dari dua pendapat di atas, maka pendapat yang benar adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal adalah dengan cara melihat bulan secara langsung (rukyat). Boleh memakai alat bantu seperti teropong dan lain-lainnya. Demikian pula diperbolehkan menggunakan hitungan hisab, tetapi hanya sebagai pembantu dan penopang dari rukyat.
Selain dalil-dalil yang telah diungkap di atas, ada dalil lain yang menguatkan pendapat mayoritas ulama,yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
«إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا» يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ، وَمَرَّةً ثَلاَثِينَ
“Sesungguhnya kita (umat Islam) adalah umat yang ummi, tidak menulis dan menghitung, bulan itu jumlahnya 29 hari atau 30 hari.” (HR Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080)
Artinya hadits di atas adalah untuk menentuan awal bulan, umat Islam tidak diwajibkan untuk mempelajari ilmu hisab. Karena Allah telah memberikan cara yang lebih mudah dan bisa dilakukan oleh banyak orang, yaitu rukyat. Ini bukan berarti umat Islam dilarang mempelajari ilmu tersebut, karena Allah swt telah memerintahkan kepada umatnya agar selalu menuntut ilmu pengetahuan selama hal itu membawa maslahat dalam kehidupan manusia ini. Akan tetapi maknanya bahwa ajaran Islam ini mudah dan bisa dicerna oleh semua kalangan, dan bisa dipraktekan oleh semua orang.
Selain itu di dalam ilmu hisab (ilmu falak) telah terjadi perbedaan pendapat yang sangat banyak. Ada yang menetapkan bahwa awal bulan dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’. Sebagian yang lain menetapkan bahwa awal bulan dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ ditambahkan bahwa pada saat terbenam matahari tersebut, Hilal (bulan) sudah wujud di atas ufuk. Ini sering disebut dengan model ” wujudul hilal.”
Bahkan ada kelompok yang mensyarakatkan wujud bulan di atas ufuk tersebut dengan imkanur rukyat (berdasarkan perkiraan mungkin tidaknya hilal dirukyat). Kelompok yang menggunakan model “imkanu al rukat” inipun berbeda pendapat di dalam menentukan batasannya. Ada yang memegang dengan batasan 2 derajat, ada yang memakai 5 derajat. Dan banyak lagi perbedaan-perbedaan yang tidak mungkin diungkap di sini.
Inilah mengapa umat Islam di Indonesia belum bisa bersatu di dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal, karena masing-masing dari aliran ilmu hisab (ilmu falak) memegang prinsipnya dan merasa paling benar, sehingga tidak mau mundur sedikitpun demi persatuan umat. Wallahu Musta’an.
Untuk mengurangi perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam dalam menyikapi perbedaan cara menentukan awal bulan tersebut, para ulama menfatwakan bahwa sebaiknya umat Islam mengikuti awal bulan Ramadhan dan Syawal yang telah ditentukan oleh pemerintah dalam negara masing-masing.
Untuk negara Indonesia umpamanya, hendaknya seluruh rakyat mengikuti apa yang telah diputuskan pemerintah dalam hal ini Departemen Agama. Itu semua demi maslahat persatuan.
Wallahu A’lam.
Penulis: Dr. Ahmad Zain an-Najah, MA. (ahmadzain.com)